Sejak angin reformasi ditiupkan tahun 1998 lalu, ada
keinginan kuat untuk mengangkat partisipasi rakyat dalam kehidupan politik.
Termasuk penguatan peran politik kaum perempuan. Sebagai tindak lanjutnya,
diciptakanlah affirmative
action untuk mendorong
keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik.
Salah satu bentuk affirmative
action itu adalah penerapan
kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Lalu, dalam setiap UU pemilu kita
dicantumkan ketentuan untuk mencapai kuota itu. Diantaranya, penerapan kuota
30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.
Sayang, tiga kali pemilu pasca reformasi, target
mencapai kuota 30% itu tidak kunjung terealisasi. Pada pemilu 1999, yang
notabene pemilu pertama di era reformasi, hanya 45 perempuan yang terpilih
menjadi anggota DPR atau hanya 9%. Lalu, pada pemilu 2004, jumlah perempuan
yang terpilih menjadi anggota DPR sebanyak 62 orang atau sekitar 11,3 persen.
Kemudian, pada pemilu 2009 lalu, jumlah perempuan terpilih
sebagai anggota DPR meningkat, yakni 102 orang atau 18%. Meskipun demikian,
jika dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia hanya menempati
peringkat 75. Jauh di bawah Rwanda (56.3 persen), Andorra (50 persen), dan Kuba
(45,2 persen).
Sebentar lagi pemilu 2014 digelar. Banyak harapan,
bahwa di pemilu mendatang bisa meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Lagipula, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif sudah mengamanatkan
kewajiban parpol peserta pemilu untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan di
daftar calon legislatif dan minimal terdapat satu perempuan diantara tiga calon
legislatif.
Sayang, belum juga pemilu, kita sudah dihinggapi
kekhawatiran. Pasalnya, sejumlah parpol sudah menyuarakan keberatannya untuk
memenuhi kuota 30% caleg perempuan itu. Alasannya pun tidak masuk akal: masih
sedikit perempuan yang mau terjun ke politik.
Memang, salah satu hambatan terbesar memenuhi target
30% keterwakilan perempuan itu adalah partai politik. Jangankan soal kuota 30%
caleg perempuan, kepengurusan parpol pun masih “sepi” dari kader-kader
perempuan. Sampai sekarang ini parpol masih minim memberikan ruang bagi kaum
perempuan. Parpol-parpol ini masih dihinggapi anggapan patriarkal, yang
meremehkan kapasitas perempuan untuk terjun ke politik. Hal ini makin
diperparah oleh kenyataan bahwa parpol tidak serius melakukan kaderisasi
politik di tingkatan massa. Inilah hambatan pertamanya.
Kedua, UU pemilu yang mengatur soal kuota 30% caleg
perempuan itu belum dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi parpol yang
mengabaikan atau tidak menjalankan ketentuan itu. Hal ini, misalnya, terjadi
pada pemilu 2009 lalu, dimana ada 13 partai politik yang tidak memenuhi kuota
30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.
Belakangan, ada keinginan KPU untuk memastikan parpol
memenuhi kuota itu, yakni melalui Peraturan KPU No 7 tahun 2013.
Ketentuan itu menegaskan, KPU tidak akan menerbitkan daftar caleg tetap
untuk parpol yang gagal memenuhi syarat keterwakilan perempuan di suatu dapil. Sayang,
inisiatif KPU ini ditentang oleh DPR.
Ketiga, masih kuatnya hambatan ideologis, terutama
patriarkhi, yang menghalangi langkah perempuan terjun ke politik. Dunia politik
masih diasosiasikan sebagai “dunia laki-laki”. Ini tercermin jelas dari
pandangan yang mengidentikkan pemimpin politik dengan “pemimpin kuat, tegas,
dan berani”. Akibatnya, ketika perempuan ini terjun ke politik, tak jarang
hambatan itu justru berasal dari keluarga.
Keempat, tidak adanya organisasi massa perempuan yang
berhasil menjembatani antara penyelesaian problem-problem mendasar perempuan,
seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, dan lain-lain, dengan kebutuhan perjuangan politik perempuan.
Padahal, organisasi massa semacam ini sangat berguna sebagai sekolah politik
bagi massa perempuan.
Kelima, mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi
liberal. Akibatnya, kalaupun perempuan bisa mendapat tiket sebagai calon
legislatif, tetapi mereka kesulitan untuk membiayai kampanye dan segala kebutuhan
logistik pada saat pemilu. Jadinya, yang banyak lolos dan menduduki jabatan di
DPR adalah perempuan dari kalangan menengah ke atas atau dari rumpun
pejabat/elit politik. Masalahnya, perempuan dari kalangan atas ini biasanya
hanya punya ambisi kekuasaan, tetapi tidak punya perhatian pada agenda politik
kaum perempuan dan rakyat secara keseluruhan.