Monday, April 06, 2015

FUNGSI KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILU

FUNGSI KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILU

ABSTRAK
Kesuksesan ataupun kegagalan dalam pelaksanaan fungsi komukasi politik partai sangat terkait dengan konsep-konsep yang ikut memengaruhi fungsi komukasi politik: struktur budaya politik dan ekonomi (social sytem),konsep budaya organisasi partai dan manajemen strategi komukasi partai politik, kredibilitas/etos, kapabilitas,popularitas figur atau ketokohan ( personalitas pengurus ) dan sistem kaderisasi, jaringan atau akses informasi partai kepada publik dan pemanfaatan sistem media yang ada ( media system ) termasuk penyediaan dan penyaluran informasi atau pesan-pesan politik kepada publik yang menyangkut tuntutan (demanding) ataupun harapan publik, konflik internal partai dan kepentingan elit, dan kepercayaan atau keyakinan masyarakat/rakyat terhadap partai dalam hal ini ideologi partai.

Kata Kunci : Fungsi komukasi politik,partai politik, pemilu.

1.      PENDAHULUAN
Komunikasi politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi yang berisi pesan-pesan politik (isu politik, peristiwa dan perilaku politik individu-individu, baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau asosiasi politik). Komunikasi politik adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti. Komukasi politik merupakan jalan mengalirnya informasi politik melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik ( Mas’oed dan Andrew, 1990 :130).
Fungsi komukasi politik adalah struktur politik yang menyerap  berbagai aspirasi, pandangan, dan gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkannya sebagai bahan dalam penentuan kebijakan ( Mas’oed dan Andrew dalam ardial, 2009 : 40 ). Dengan demikian, fungsi komukasi politik adalah membawakan arus informasi atau pesab politik secara timbal balik dari masyarakat kepada penguasa politik partai atau pemerinth, dan dari penguasa politik atau pemerintah kepada masyarakat.
Komunikasi politik berlangsung secara timbal balik melalui saluran komukasi yang efektif. Hal ini oleh Gabriel Almond (1960:45-52) dilihatnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sostem politik atau bagian integral dari fungsi-fungsi input yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Almond mengatakan, “ All of the functions perfprmed political system,political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule maing, rule application, and rule adjudication are performed by means of communication.”
Menurut Almond, fungsi komunikasi politik yang terdapat secara inheren dalam sistem politik bukanlah funsgsi yang berdiri sendiri. Efektif tidaknya fungsi ini dalam penyampaikan pesan-pesan politik sangat dipengaruhi oleh fungsi-fungsi input lainnya. Ada dua indikator fungsi komunikasi politik dari lima fungsi komunikasi politik yang dapat menunjukkan bahwa arus komunikasi politik berhubungan langsung dengan kebijakan atau keputusan, yaitu (1) fungsi agregasi kepentingan (interest aggregation function), dan (2) fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation function ). Pemikiran yang mendasari fungsi agregasi kepentingan adalah bahwa arus komukasi bersumber dari masyarakat kepada penguasa politik. Fungsi agregasi kepentingan yang dimaksud adalah proses menampung, mengubah, mengoversi aspirasi politik masyarakat berupa tuntutan (demandingi) dan dukungan (supporting) menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik berupa kebijakan (policy) dan keputusan (decision). Tujuan dari fungsi agregasi kepentingan adalah untuk menghimpun kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat dan kemudian mengubahnya menjadi kebijaksanaan umum.
Dalam sistem politik demokratis, pesan politik atau aspirasi politik masyarakat berupa tuntutan (demanding) dan dukungan (supporting) selalu diarahkan kepada pemerintah, dan akan disalurkan oleh partai politik bersama kelompok kepentingan, media, dan aktor-aktor lainnya melalui fungsi-fungsi input terutama fungsi komunikasi politik, fungsi artikulasi kepentingan dan fungsi agregasi kepentingan.
Fungsi artikulasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, fungsi partisipasi politik juga merupakan indikator penting bagi berlangsungnya komunikasi politik suatu partai. Partisipasi politik masyarakat sangat lah bergantung pada informasi atau pesan-pesan politik yang diterima melalui saluran-saluran yang ada. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang sering kali muncul terkait dengan maslaah ini adalah informasi atau pesan-pesan politik apa saja yang disampaikan oleh partai politik infastruktur politik kepada masyarakat? Sejauhmana informasi atau pesan-pesan politik yang disampaikan oleh partai dapat dipahami, bernilai, bermanfaat dan membuat publik bereaksi seta berpatisipasi kepada partai ? jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini semuanya bermuara pada fungsi partisipasi politik yang dilakukan suatu partai.
Masalah partisipasi politik merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh setiap negara karena berkaitan erat dengan kelangsungan negara. Partisipasi politik merupakan tolak ukur memahami kualitas warga negara dalam tingkat rujukan (reference) pandangan dan tanggung jawab atas kemajuan dan kelangsungan hidup negaranya. Selain itu, partisipasi politik juga sebagai tolak ukur untuk mengetahui sistem politik apa yang mendasari berlangsungnya partisipasi tersebut dari sifat ataupun orientasi politiknya.
Partisipasi politik menunjuk kepada sikap integritas mental dan komitmen moral warga negara kedalam sisitem politik yang sedang berlangsung sekaligus sistem nilainya. Hal ini mengandung makna bahwa sistem politik tidak hanya ditentukan oleh tercapainya fungsu primer sistem, yaitu tujuan sistem; namun ditentukan pula oleh kemampuan pemerintah dalam memfomulasikan simbol-simbol kekuasaan ke dalam kepentingan negara dan bagaimana kecenderungan warga negara mengaktualisasikannya di dalam  menginterpretasikan simbol-simbol tersebut, baik menerimanya atau menolaknya. Sejalan dengan dengan itu, Closky dalam Harun (2006: 130 ) menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela (voluntary) dari masyarakat dengan mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung (direct) arau tidak langsung (indirect), dan dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek, yaitu (1) pemilihan penguasa, dan (2) melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa atau pemerintah ( Harun, 2006 : 131 ).
Secara psikologis, partisipasi politik merupakan tingkat kesadaran optimal dan kualitas integritas mental serta moral yang menmotivasi setiap individu untuk melakukan berbagai aktivitas sikap dan perilaku dalam lingkup sistem politik yang sedang berlangsung. Partisipasi politik dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penguasa (pemerintah), dan sisi warga negara. Dari sisi pemerintah, hakikat partisipasi politik adalah sebagai pengakuan dan perhargaan kepada masyarakat ( warga negara, rakyat) dalam bentuk memberikan kesempatan untuk berperan serta memikirkan kehidpan negara melalui kegiatan pemilihan individu-individu yang akan duduk dalam lembaga-lebaga kekuasaan. Mewujudkan kondisi semacam itu, pada akhirnya, terpulang kepada upaya penguasa politik atau pemerintah di dalam menata sumber-sumber komukasi sekaligus melibatkan media massa yang diarahkan keapada : (1) meningkatkan minat dan peran serta warga negara dalam pelaksanaan seluruh kebijaksanaan pemerintah; (2) menumbuhkan keyakinan warga negara bahwa peran serta secara aktif akan memberi manfaat warga negara bahwa peran serta secara aktif akan memberi manfaat bagi warga negara sendiri; (3) membentuk sikap agar partisipasi tumbuh atas kesadaran warga negara; dan (4) mengantisipasi agar tidak tumbuh opini negatif sebagai faktor penyebab lesunya partisipasi. Dari sudut pandang warga negara, partisipasi politik sebagai pengakuan dan dukungan negara sekaligus ketaatab warga negara terhadap pemerintah sebagai penguasa politik ( Harun, 2006 : 134).
Partisipasi politik merupakan bagian dari hak-hak azasi manusia, yaitu hak-hak komunikasi. Partisipasi politik membuka kesempatan bagi warga negara untuk melibatkan diri dalam interaksi politik melalui kompetisi yang sehat dan pencapaian prestasi berdasarkan aturan main yang berlaku.
Efektivitas komunikasi politik juga sangat ditentukan oleh isi dari pesan-pesan atau informasi politik yang disampaikan oleh suatu partai. Hal ini sangat erat kaitannya dengan fungsi sosialisasi politik. Fungsi sosialisasi politik adalah proses pewarisan nilai-nilai, proses pemasyarakatan pengtahuan dan pandangan-pandangan politik ke dalam suatu masyarakat. Sosialisasi poltiksebagai upaya dinamis untuk mempertahankan suatu nilai yang dirasakan manfaatnya didalam menggerakkan dinamika masyarakat ke tingkat kehidupan yang berkualitas. Fungsi sosialisasi politik dapat membuat fungsi komunikasi politik partai menjadi efektif karena setelah publik atau massa dapat mengetahui,megerti, dan memahami informasi kebijakan atau keputusan pemerintah melalui partai, hasilnya berupa respons efektif tidaknya implementasi fungsi sosialisasi politik dalam komunikasi ekonomi,politik dan kebudayaan di mana individu-individu berada.
 Oleh sebab itu, komunikasi partai politik, dapat dianggap efektif dan berhasil bila pesan-pesan politik yang disampaikannya mendapat respons positik dari publik atau massa berupa kesediaannya untuk memberikan simpati dan dukungan politik kepada partai berupa legitimasi politik. Terutama untuk propaganda politik, partai tetap perlu memerhatikan keterkaitan tiga unsur dalam proses komunikasi politik yaitu  : (1) sumber politik (source), (2) pesan politik (message), dan (3) tujuan ppolitik (destination) (Santosos Sastropoetro, 1988 : 87).
Informasi atau pesan-pesan politik (messages) perlu disampaikan kepada publik/massa untuk mendapatkan dukungan politik (destination). Publik/massa akan terus menerus memberikan dukungan politik kepada suatu partai politik bila pesan politik yang disampaikan partai politik dipahami dengan baik olehpublik/massa.

Begitu pula efektivitas komunikasi politik sangat ditentukan oleh fungsi rekrutmen dalam partai politik. Inti dari fungsi rekrutmen politik adalah proses seleksi individu yang berbakat untuk menduduki jabatan politik tertentu dalam pemerintah, seperti jabatan struktural dalam partai. Bila anggota partai yang nantinya juga akan bertindak sebagai komunikator partai politi adalah orang-orang yang berbakat dan memiliki keahlian di bidangnya, hampur dapat dipastikan bahwa partai politik dapat melaksanakan fungsi komunikasi politinya dengan baik sehingga hasilnya akan dapat membawa kesuksesan bagi sebuah partai. Sebaliknya, bila orang-orang yang tidak berbakat ditempatkan dalam posisi itu, dapat dipastikan bahwa partai politik akan mengalami banyak kesulitan dalam melaksanakan fungso komunikasi politiknya dengan baik sehingga akan berakibat kepada ketidakberhasilan atau kegagalan partai dalam mendapatkan dukungan politik dari publik/massa dan menghadapi pesaing dari partai lain yang semakin ketat.
Demikian pula partai politik sebagai komunikator, juga membutuhkan saluran atau media komunikasi politik yang efektif ( sistem media massa ) untuk menyampaikan informasi atau pesan-pesan politiknya kepada publik/massa. Fungsi komunikasi politik itu terutama dijalankan oelh media massa karena media massa memiliki peranan yang strategis dalam sistem politik. Kelancaran komunikasi politik melalui saluran media yang dupilihnya akan sangat berpengaruh pada kemantapan kehidupan politik. Terlambatnya saluran komunikasi politik  dapat kengakibatkan  munculnya kecurigaan antara satu kelompok dan kelompok lain, antara satu pihak dan pihak yang lain sehingga diperlukan dalam pembinaan sistem politik suatu partai. Saluran komunikasi politik sebagai alat atau sarana komunikasi yang dipilihnya dapat berupa teknologi, personal, atau institusional. Akan,tetapi dengan kemajuan teknolgi dan peran media massa yang dapat menjangkau seluruh dimensi kehidupan masyarakat, partai politik tampaknya cederung membangun simpati dan dukungan politik dari konstituennya melalui media massa dan tatap muka.
Menurut Dan Nimmo (2004: 166-169), komunikasi merupakan dpat terjadi dari satu sumber yang ditujukan kepada orang banyak. Komunikasi ini dikenal sebagai komunikasi massa yang dapat dilakukan dengan menggunakan dua bentuk saluran, yaitu (1) saluran tatap muka; dan (2) saluran media massa. Saluran tatap muka yang dilakukan oleh suatu partai, seperti bila juru biacara atau anggota partai dan berbicara secara langsung di depan publik atau massa; sedangkan, saluran media massa, seperti media centre yang bertugas memilah, merancang, dan mendistribusikan informasi atau pesan-pesan politik, penyampaian kebijakan atau keputusan pemerintah  yang diambil berdasarkan aspirasi masyarakat kepada media massa agar publik/massa yang ada di daerah-daerah dapat mengetahuinya.
Namun, semua model dan saluran yang dipilih dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama, yaitu : (1) baik khalayak publik/ massa maupun pemerintah, keduanya saling memahami melalui pertukaran informasi atau pesan politik. Kedua belah pihak diharapkan dapat menerima dan menjadikan informasi politik sebagai suatu kebenaran sehingga saling memerhatikan; (2) melalui informasi atau pesan-pesan politik tersebut pemerintah dan khalayak publik/massa dapat berbuat sesuatu tanpa ada pihak yang dirugukan. Informasi politik yang berlangsung secara timbal balik diharapkan dapat menimbulkan integrasi; khalayat publik/massa menjadi terpuaskan dan pemerintah merasakan adanya kesetiaan atau loyalitas dari publik, berupa dukungan atau legitimasi.
Disamping efektivitas pelaksanaan fungsi komunikasi partai politik, strategi komunikasi politik juga sebagai salah satu faktor atau indikator yang ikut memengaruhi berlangsungnya fungsi komunikasi politik suatu partai dan merupakan unsur penting dalam mendukung efektivitas proses berlangsungnya komunikasi politik  yang dilakukan oleh suatu partai politik dalam usaha untuk memperoleh simpatik atau dukungan plitik konstitien atau massa.
2.      HAKIKAT STRATEGI DALAM KOMUNIKASI PARTAI POLITIK
            Hakikat stratedi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional pada saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik pada masa depan ( Arifin, 2003: 145). Ada bebrapa indikator dalam strategi komunikasi politik yang dianggao penting, yakitu (1) keberadaan pemimpin politik; (2) merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan; (3) menciptakan kebersamaan; (4) negosiasi; dan (5) membangun konsensur (Anwar Arifin dalam Ardial, 2009: 73).
            Pertama, keadaan pemimpin politik. Eksistensi pemimpin politik dalam suatu partai dianggap penting karena keberadaannya sangat dibutuhkan disetiap aktivitas kegiatan komunikasi politik. Ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang berpengaruh bukan saja peran politik, melainkan siapa tokoh politik (politikus) atau tokoh aktivis dan profesional, serta berasal dari lembaga mana yang meyampaikan informasi atau pesan politik itu. Dengan kata lain, ketokohan seorang komunikator dan latar belakang lembaga politik yang mendukungnya, sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunikasi politik dalam mencapai sasaran dan tujuannya. Dalam masyarakat, terdapat stratifikasi kekuasaan yang dimiliki, yang memiliki kekuasaan disebut elit (pemimpin politik), sedangkan yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa atau rakyat. Oleh karena itu, menurut Pareto dalam Surbakti (1999 : 134), pemimpin atau eliti politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat,seperti prestise, kekayaan, atau kewenangan.
            Kedua, merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Artinya, ketokohan politikus dan kemantapan lembaga politiknya dala masyarakat akan memiliki pengaruh tersendiri dalam berkomunikasi politik. Selain itu, juga diperlukan kemampuan dan dukungan lembaga dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan memilih media politik yang tepat. Ketokohan adalah orang yang memiliki kredibilitas (al Amin), daya tarik, dan kekuasaan. Rakhmat (1999:256) menyebutkan sebagai ethos.  Dengan demikian, ketokohan sama dengan ethos, yaitu gabungan antara kredibilitaas, akraksi, daj kekuasaa. Dimensi ethos yang paling relevn disini adalah kredibilitas, yaitu keahlian komunikator (pemimpin politik) atau kepercayaan kita kepada pemimpin politik.
            Ketiga, menciptakan kebersamaan. Mencoiptakan kebersamaan antara politikus dengan khalayak (rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofilis  ( Arifin, 2003 : 154) agar komunikator politik dapat berempati. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homifilis  daeripada heterofili (Rakhmat, 1996: 262). Suasana ho,ofilis  yang harus diciptakan adalah persamaan bahasa (simbol komunikasi), busana, kepentingan dengan khalayak, terutama mengenai pesan politik, metode, dan media politik. Namun yang sangat penting, strategi ini juga yang harus dilakukan oleh partai atau politikus adalah siapa tokoh yang melakukan komunikasi kepada khalayak. Artinya, politikus telah memiliki banyak persamaan dengan khalayak pada level melakukan penjajakan, seperti bagaimana memahami khalayak, menyusun pesan persuasif, menetapkan metode, dan memilih media.
            Keempat,  negosiasi. Proses komunikasi bisa mudah dan bisa juga sulit, tergantung pada orang yang mengomunikasikan sesuatu. Da;am kehidupan komunikasi politik negosiasi merupakan bagian yang selalu muncul  sehingga negosiasi bisa dijadikan sebagai salah satu strategi komunikasi politik. Menurut Oxford Dictionartu dalam Ludlow & Panton (1996: 141), begosiasi adalah pembicaraan dengan orang lain untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau mengemukakan. Pada tataran komunikasi politik dalam partai politik, negosiasi digunakan untuk melobi guna mencapai suatu kesepahaman atau kesepakatan dalam proses pencapaian tujuan politik.
            Kelima, membangun konsensus. Strategi komunikasi politik terakhir yang harus dilakukan oleh partai untuk mencapai tujuan komunikasi politiknya adalah membangun konsensus, baik antara para politikus dalam satu paratai mauapun atara politikus dari partai yang berbeda (Arifin, 2003: 182). Pada umumnya, hal itu terjadi dalam rapat dan persidangan maupun dalam lobi, dengan menggunakan model komunikasi efektif sesuai dengan paradigma interaksional.
            Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam membangun kosensus, antara lain (1) seni berkompromi, yaitu para politikus harus memiliki kemampuan berkompromi yang merupakan seni tersendiri. Pada umumnya, seni atau kiat berkompromi itu merupakan bakat atau bawaan lahir dan pasti dimiliki oleh politikus. Konsensus atau kesepakatan dicapai setelah ada konflik atau perbedaan pendapat terhadap suatu masalah (Arifin, 2003: 183). Hal ini terjadi dalam rapat, persidangan, atau musyawarah untuk penyusunan undang-undang atau peraturan-peraturan, penentuan program, kebijakan, dan pelaksanaan, serta penetapan atau pemilihan pucuk pimpinan seperti pemilihan presiden dan wakil presiden; (2) bersedia membuka diri. Pada politikus yang akan melakukan lobi untuk mencari solusi dengan membangun konsensus harus siap membuka diri sesuai dengan konsep diri yang ada pada tiap-tiap politikus yang berbeda pendapat (Arifin, 2003: 142). Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi politik interaksional.  Suksesnya komunikasi interaksional, terutama lobi, banyak sekali bertgantung pada kualitas konsep diri yang positik. Politikus yang memiliki konsep diri yang positik adalah orang yang transparan ( tembus pandang) atau terbuka bagi orang lain (Jorurard, 1971).
            Salah satu inti dari demokratisasi adalah bagaiamana membangun intitusi-intitusi politik demokratis, seperti partai politik, bekerja atas dasar prinsip akuntabilitas. Partai politik sebagai institusi demokrasi diharapkan dapat berperan sebagai agen yang dapat menjamin tumbuh dan berkembangnya praktik demikrasi dimasyarakat. Peran tersebut tentu menuntut partai politik terlebih dahulu menerapkan nilai dan praktik-praktik demokrasi dalam dirnya sendiri ketika melaksanakan fungsi-fungsi imput sistem politik, seperti fungsi komunikasi politik.
            Di Indonesia, proses demokratisasi politik yang terus berlangsung pasca Orde Baru setidaknya telah mengarahkan sistem kepartaian dan pemilu yang dapat memberi peluag bagi perluasan partisipasi politik warga negara. Proses ini setidaknya telah menghasilkan sistem multipartai yang relatif otonom yang tidak hanya memberi ruang bagi munculnya sejumlah partai politik baru, tetapi juga sistem kompetisi yang sangat ketat untuk merebut dukungan politik yang lebih besar dari konstituen.
            Sekalipun sistem ini terasa lebih demokratis dibanding sebelumnya, tetapi tetap saja merupakan ancama bagi eksistensi partai politik sebab ruang kompetisi yang diciptakan semakin tajam dan terbuka. Sistem ini dapat membuat partai politik gulung tikar bila partai politik tersebut tidak dapat berkompetisi dan beradaptasi dengan lingkungan politik yang sedang dan akan terus berubah serta berkembang, terutama dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik dengan efektif dan berhasil. Sistem ini sudah tentu membawa dilema demokrasi karena pada satu sisi aspirasi politik masyarakat yang terus berkembang menuntut partai politik dan pemerintah yang didukungnya harus menjadi adaptif; pada lain sisi, partai politik dan pemerintah yang didukungnya juga memiliki sejumlah keterbatasan. Arena politik yang ada akan menjadi tempat pembataian bagi partai politik yang tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi input susten politik, sekaligus merupakan medan yang menguntungkan bagi partai politik lain yang suap beradaptasi dan berkomperisi secara fair  untuk memperoleh dukungan politik secara luas dari masyarakat/rakyat melalui pembentukan opini dan pencitraan partai politik.
            Pada batas-batas tertentu, sebuah partai politik dihadapkan pada suatu tuntutan untuk mengoptimalkan pesannya sebagai sarana partisipasi politik masyarakat. Jika dilihat dari ketidak berhasilan sebuah partai politik dalam pemilu, hal ini disebabkan: pertama, aktivis dan politikus partai belum memhamai betul fungsi komunikasi politik dalam partai. Mereka yang menjadi aktivis partai belum termasuk orang-orang yang oleh Sigmund Neumann disebut sebagai mereka yang memusatkan perhatiannya untuk menguasai pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Kedua, mereka yang terlibat dalam partai bukan orang-orang yang bertujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanaka kebijakan-kebijakan partai. Tujuan partai politik menurut Miriam Budiardjo adalah memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
 keberhasilan ataupu kegagalan partai dala  memberikan informasi  atau pesan-pesan politik kepada masyarakat, terutama tentang pelaksanaan sejumlah progrram partai, tidak terlepas dari kinerja para komunikator partai politik, seperti politisi dan praktisi partai di DPR RI(fraksi, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekjen DPP, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW Provinsi) dan Dewan Pimpinan Anak Cabang, juru bicara partai, dan media center. Semua saran akses informasi politik yang dimiliki sebuah partai ditengarai belum berhasil menjadi sarana komunikasi politik yang efektid bagi masyarakat/publik. Penyebabnya dapat bermacam-macam , seperti pila atau modek partai dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik, meliputi aggregas, artikulasi, sosialisasi, partisipasi dan fungsi rekrutmen untuk mendapatkan dungan politik dari rakyat atau konstituen, konflik-konflik internal partai, dab ragam kepentingan para elit partai, serta fakto lain yang turut dominan memengaruhi tidak efektifnya implementasi fungsi komunikasi partai politik. Oleh karena itu, ketidakberhasilan atau kegagalan partai politi dalam pemilu berkaitan dengan efektivitas implementasi fungsi komunikasi politik yang dilakukannya. Untuk mengetahui dan membutikan penyebabnya, perlu diadakan penelitian.
 FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILU
 Dilihat dari berbagai aspek, kesuksesan ataupun kegagalan dala pelaksanaan fungsi komunikasi politik suatu partai sangat terkait dengan konsep-konsep yang ikut memengaruhi fungsi komunikasi politik tersebut, meliputi struktur sosial budaya politik dan ekonomi (sosial system), konsep budaya organisasi partai dan manajemen strategi komunikasi partai politik, kredibilitas/ethos, kapabilitas, populiaritas figur atau ketokohan (personalitas pengurus) dan sistem kaderisasi, jaringan atau akses informasi partai kepada publik dan pemanfaatan sistem media yang ada termasuk penyediaan dan penyaluran informasi atau pesan-pesan politik kepada publik yang menyakut tuntutan ataupun harapan publik, konflik internal partai dan kepentingan elit dan yang terpenting lagi adalah kepercayaan dan keyakinan masyarakat/rakyat terhadap partai dalam hal ideologi partai.
 Informasi atau pesan politk adalah semua data dan program-program partai politik yang dilaksanaka sendiri oleh patai yang dilaksanakan sendiri oleh partai. Dengan demikian, baik secara konseptual maupun secara faktual, pelaksanaan komunikasi politik di partai harus menunjukkan kesiapan seluruh sumber daya yang turut menjadi faktor yang menentukan keksuksesan atau keberhasilan partai, termasuk saluram atau media komunikasi yang dimiliki oleh partai yang meliputi DPR RI, juru bicara partai, dan semua DPW yang ada didaerah, dan media center, partai  dalam mendistribusikan informasi politik atau program-program partai yang dimilikinya kepada masyarakat.