FUNGSI
KOMUNIKASI POLITIK DALAM PEMILU
ABSTRAK
Kesuksesan ataupun kegagalan dalam pelaksanaan
fungsi komukasi politik partai sangat terkait dengan konsep-konsep yang ikut memengaruhi
fungsi komukasi politik: struktur budaya politik dan ekonomi (social
sytem),konsep budaya organisasi partai dan manajemen strategi komukasi partai
politik, kredibilitas/etos, kapabilitas,popularitas figur atau ketokohan (
personalitas pengurus ) dan sistem kaderisasi, jaringan atau akses informasi
partai kepada publik dan pemanfaatan sistem media yang ada ( media system )
termasuk penyediaan dan penyaluran informasi atau pesan-pesan politik kepada
publik yang menyangkut tuntutan (demanding) ataupun harapan publik, konflik
internal partai dan kepentingan elit, dan kepercayaan atau keyakinan
masyarakat/rakyat terhadap partai dalam hal ini ideologi partai.
Kata Kunci : Fungsi komukasi politik,partai politik,
pemilu.
1.
PENDAHULUAN
Komunikasi
politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi yang berisi pesan-pesan
politik (isu politik, peristiwa dan perilaku politik individu-individu, baik
sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau
asosiasi politik). Komunikasi politik adalah suatu proses dan kegiatan-kegiatan
membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem
politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti. Komukasi politik merupakan jalan mengalirnya informasi politik
melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam sistem politik
( Mas’oed dan Andrew, 1990 :130).
Fungsi
komukasi politik adalah struktur politik yang menyerap berbagai aspirasi, pandangan, dan gagasan
yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkannya sebagai bahan dalam
penentuan kebijakan ( Mas’oed dan Andrew dalam ardial, 2009 : 40 ). Dengan
demikian, fungsi komukasi politik adalah membawakan arus informasi atau pesab
politik secara timbal balik dari masyarakat kepada penguasa politik partai atau
pemerinth, dan dari penguasa politik atau pemerintah kepada masyarakat.
Komunikasi
politik berlangsung secara timbal balik melalui saluran komukasi yang efektif.
Hal ini oleh Gabriel Almond (1960:45-52) dilihatnya sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sostem politik atau bagian integral dari fungsi-fungsi input yang dijalankan oleh setiap sistem
politik. Almond mengatakan, “ All of the
functions perfprmed political system,political socialization and recruitment,
interest articulation, interest aggregation, rule maing, rule application, and
rule adjudication are performed by means of communication.”
Menurut
Almond, fungsi komunikasi politik yang terdapat secara inheren dalam sistem
politik bukanlah funsgsi yang berdiri sendiri. Efektif tidaknya fungsi ini
dalam penyampaikan pesan-pesan politik sangat dipengaruhi oleh fungsi-fungsi input lainnya. Ada dua indikator fungsi
komunikasi politik dari lima fungsi komunikasi politik yang dapat menunjukkan
bahwa arus komunikasi politik berhubungan langsung dengan kebijakan atau
keputusan, yaitu (1) fungsi agregasi kepentingan (interest aggregation function), dan (2) fungsi artikulasi
kepentingan (interest articulation
function ). Pemikiran yang mendasari fungsi agregasi kepentingan adalah
bahwa arus komukasi bersumber dari masyarakat kepada penguasa politik. Fungsi
agregasi kepentingan yang dimaksud adalah proses menampung, mengubah,
mengoversi aspirasi politik masyarakat berupa tuntutan (demandingi) dan dukungan (supporting)
menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik berupa kebijakan (policy) dan keputusan (decision). Tujuan dari fungsi agregasi
kepentingan adalah untuk menghimpun kepentingan-kepentingan yang ada di dalam
masyarakat dan kemudian mengubahnya menjadi kebijaksanaan umum.
Dalam
sistem politik demokratis, pesan politik atau aspirasi politik masyarakat
berupa tuntutan (demanding) dan
dukungan (supporting) selalu
diarahkan kepada pemerintah, dan akan disalurkan oleh partai politik bersama
kelompok kepentingan, media, dan aktor-aktor lainnya melalui fungsi-fungsi
input terutama fungsi komunikasi politik, fungsi artikulasi kepentingan dan
fungsi agregasi kepentingan.
Fungsi
artikulasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, fungsi partisipasi politik
juga merupakan indikator penting bagi berlangsungnya komunikasi politik suatu
partai. Partisipasi politik masyarakat sangat lah bergantung pada informasi
atau pesan-pesan politik yang diterima melalui saluran-saluran yang ada. Karena
itu, pertanyaan-pertanyaan yang sering kali muncul terkait dengan maslaah ini
adalah informasi atau pesan-pesan politik apa saja yang disampaikan oleh partai
politik infastruktur politik kepada masyarakat? Sejauhmana informasi atau
pesan-pesan politik yang disampaikan oleh partai dapat dipahami, bernilai,
bermanfaat dan membuat publik bereaksi seta berpatisipasi kepada partai ?
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini semuanya bermuara pada fungsi
partisipasi politik yang dilakukan suatu partai.
Masalah
partisipasi politik merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh setiap negara
karena berkaitan erat dengan kelangsungan negara. Partisipasi politik merupakan
tolak ukur memahami kualitas warga negara dalam tingkat rujukan (reference) pandangan dan tanggung jawab
atas kemajuan dan kelangsungan hidup negaranya. Selain itu, partisipasi politik
juga sebagai tolak ukur untuk mengetahui sistem politik apa yang mendasari
berlangsungnya partisipasi tersebut dari sifat ataupun orientasi politiknya.
Partisipasi
politik menunjuk kepada sikap integritas mental dan komitmen moral warga negara
kedalam sisitem politik yang sedang berlangsung sekaligus sistem nilainya. Hal
ini mengandung makna bahwa sistem politik tidak hanya ditentukan oleh
tercapainya fungsu primer sistem, yaitu tujuan sistem; namun ditentukan pula
oleh kemampuan pemerintah dalam memfomulasikan simbol-simbol kekuasaan ke dalam
kepentingan negara dan bagaimana kecenderungan warga negara
mengaktualisasikannya di dalam
menginterpretasikan simbol-simbol tersebut, baik menerimanya atau menolaknya.
Sejalan dengan dengan itu, Closky dalam Harun (2006: 130 ) menjelaskan bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela (voluntary) dari masyarakat dengan mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa secara langsung (direct)
arau tidak langsung (indirect), dan
dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan partisipasi politik pada
intinya tertuju kepada dua subjek, yaitu (1) pemilihan penguasa, dan (2)
melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa atau pemerintah ( Harun, 2006 : 131
).
Secara
psikologis, partisipasi politik merupakan tingkat kesadaran optimal dan
kualitas integritas mental serta moral yang menmotivasi setiap individu untuk
melakukan berbagai aktivitas sikap dan perilaku dalam lingkup sistem politik
yang sedang berlangsung. Partisipasi politik dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
sisi penguasa (pemerintah), dan sisi warga negara. Dari sisi pemerintah,
hakikat partisipasi politik adalah sebagai pengakuan dan perhargaan kepada
masyarakat ( warga negara, rakyat) dalam bentuk memberikan kesempatan untuk
berperan serta memikirkan kehidpan negara melalui kegiatan pemilihan
individu-individu yang akan duduk dalam lembaga-lebaga kekuasaan. Mewujudkan
kondisi semacam itu, pada akhirnya, terpulang kepada upaya penguasa politik
atau pemerintah di dalam menata sumber-sumber komukasi sekaligus melibatkan
media massa yang diarahkan keapada : (1) meningkatkan minat dan peran serta
warga negara dalam pelaksanaan seluruh kebijaksanaan pemerintah; (2)
menumbuhkan keyakinan warga negara bahwa peran serta secara aktif akan memberi
manfaat warga negara bahwa peran serta secara aktif akan memberi manfaat bagi
warga negara sendiri; (3) membentuk sikap agar partisipasi tumbuh atas
kesadaran warga negara; dan (4) mengantisipasi agar tidak tumbuh opini negatif
sebagai faktor penyebab lesunya partisipasi. Dari sudut pandang warga negara,
partisipasi politik sebagai pengakuan dan dukungan negara sekaligus ketaatab
warga negara terhadap pemerintah sebagai penguasa politik ( Harun, 2006 : 134).
Partisipasi
politik merupakan bagian dari hak-hak azasi manusia, yaitu hak-hak komunikasi.
Partisipasi politik membuka kesempatan bagi warga negara untuk melibatkan diri
dalam interaksi politik melalui kompetisi yang sehat dan pencapaian prestasi
berdasarkan aturan main yang berlaku.
Efektivitas
komunikasi politik juga sangat ditentukan oleh isi dari pesan-pesan atau
informasi politik yang disampaikan oleh suatu partai. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan fungsi sosialisasi politik. Fungsi sosialisasi politik adalah
proses pewarisan nilai-nilai, proses pemasyarakatan pengtahuan dan
pandangan-pandangan politik ke dalam suatu masyarakat. Sosialisasi
poltiksebagai upaya dinamis untuk mempertahankan suatu nilai yang dirasakan
manfaatnya didalam menggerakkan dinamika masyarakat ke tingkat kehidupan yang berkualitas.
Fungsi sosialisasi politik dapat membuat fungsi komunikasi politik partai
menjadi efektif karena setelah publik atau massa dapat mengetahui,megerti, dan
memahami informasi kebijakan atau keputusan pemerintah melalui partai, hasilnya
berupa respons efektif tidaknya implementasi fungsi sosialisasi politik dalam
komunikasi ekonomi,politik dan kebudayaan di mana individu-individu berada.
Oleh sebab itu, komunikasi partai politik,
dapat dianggap efektif dan berhasil bila pesan-pesan politik yang disampaikannya
mendapat respons positik dari publik atau massa berupa kesediaannya untuk
memberikan simpati dan dukungan politik kepada partai berupa legitimasi
politik. Terutama untuk propaganda politik, partai tetap perlu memerhatikan
keterkaitan tiga unsur dalam proses komunikasi politik yaitu : (1) sumber politik (source), (2) pesan politik (message),
dan (3) tujuan ppolitik (destination)
(Santosos Sastropoetro, 1988 : 87).
Informasi
atau pesan-pesan politik (messages)
perlu disampaikan kepada publik/massa untuk mendapatkan dukungan politik (destination). Publik/massa akan terus
menerus memberikan dukungan politik kepada suatu partai politik bila pesan
politik yang disampaikan partai politik dipahami dengan baik olehpublik/massa.
Begitu
pula efektivitas komunikasi politik sangat ditentukan oleh fungsi rekrutmen
dalam partai politik. Inti dari fungsi rekrutmen politik adalah proses seleksi
individu yang berbakat untuk menduduki jabatan politik tertentu dalam
pemerintah, seperti jabatan struktural dalam partai. Bila anggota partai yang
nantinya juga akan bertindak sebagai komunikator partai politi adalah
orang-orang yang berbakat dan memiliki keahlian di bidangnya, hampur dapat
dipastikan bahwa partai politik dapat melaksanakan fungsi komunikasi politinya
dengan baik sehingga hasilnya akan dapat membawa kesuksesan bagi sebuah partai.
Sebaliknya, bila orang-orang yang tidak berbakat ditempatkan dalam posisi itu,
dapat dipastikan bahwa partai politik akan mengalami banyak kesulitan dalam
melaksanakan fungso komunikasi politiknya dengan baik sehingga akan berakibat
kepada ketidakberhasilan atau kegagalan partai dalam mendapatkan dukungan
politik dari publik/massa dan menghadapi pesaing dari partai lain yang semakin
ketat.
Demikian
pula partai politik sebagai komunikator, juga membutuhkan saluran atau media
komunikasi politik yang efektif ( sistem media massa ) untuk menyampaikan
informasi atau pesan-pesan politiknya kepada publik/massa. Fungsi komunikasi
politik itu terutama dijalankan oelh media massa karena media massa memiliki
peranan yang strategis dalam sistem politik. Kelancaran komunikasi politik
melalui saluran media yang dupilihnya akan sangat berpengaruh pada kemantapan
kehidupan politik. Terlambatnya saluran komunikasi politik dapat kengakibatkan munculnya kecurigaan antara satu kelompok dan
kelompok lain, antara satu pihak dan pihak yang lain sehingga diperlukan dalam
pembinaan sistem politik suatu partai. Saluran komunikasi politik sebagai alat
atau sarana komunikasi yang dipilihnya dapat berupa teknologi, personal, atau
institusional. Akan,tetapi dengan kemajuan teknolgi dan peran media massa yang
dapat menjangkau seluruh dimensi kehidupan masyarakat, partai politik tampaknya
cederung membangun simpati dan dukungan politik dari konstituennya melalui
media massa dan tatap muka.
Menurut
Dan Nimmo (2004: 166-169), komunikasi merupakan dpat terjadi dari satu sumber
yang ditujukan kepada orang banyak. Komunikasi ini dikenal sebagai komunikasi
massa yang dapat dilakukan dengan menggunakan dua bentuk saluran, yaitu (1)
saluran tatap muka; dan (2) saluran media massa. Saluran tatap muka yang
dilakukan oleh suatu partai, seperti bila juru biacara atau anggota partai dan
berbicara secara langsung di depan publik atau massa; sedangkan, saluran media
massa, seperti media centre yang
bertugas memilah, merancang, dan mendistribusikan informasi atau pesan-pesan
politik, penyampaian kebijakan atau keputusan pemerintah yang diambil berdasarkan aspirasi masyarakat
kepada media massa agar publik/massa yang ada di daerah-daerah dapat mengetahuinya.
Namun,
semua model dan saluran yang dipilih dalam melaksanakan fungsi komunikasi
politik pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama, yaitu : (1) baik khalayak
publik/ massa maupun pemerintah, keduanya saling memahami melalui pertukaran
informasi atau pesan politik. Kedua belah pihak diharapkan dapat menerima dan
menjadikan informasi politik sebagai suatu kebenaran sehingga saling
memerhatikan; (2) melalui informasi atau pesan-pesan politik tersebut
pemerintah dan khalayak publik/massa dapat berbuat sesuatu tanpa ada pihak yang
dirugukan. Informasi politik yang berlangsung secara timbal balik diharapkan
dapat menimbulkan integrasi; khalayat publik/massa menjadi terpuaskan dan
pemerintah merasakan adanya kesetiaan atau loyalitas dari publik, berupa
dukungan atau legitimasi.
Disamping
efektivitas pelaksanaan fungsi komunikasi partai politik, strategi komunikasi
politik juga sebagai salah satu faktor atau indikator yang ikut memengaruhi
berlangsungnya fungsi komunikasi politik suatu partai dan merupakan unsur
penting dalam mendukung efektivitas proses berlangsungnya komunikasi
politik yang dilakukan oleh suatu partai
politik dalam usaha untuk memperoleh simpatik atau dukungan plitik konstitien
atau massa.
2.
HAKIKAT STRATEGI
DALAM KOMUNIKASI PARTAI POLITIK
Hakikat
stratedi dalam komunikasi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional pada
saat ini tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan politik
pada masa depan ( Arifin, 2003: 145). Ada bebrapa indikator dalam strategi
komunikasi politik yang dianggao penting, yakitu (1) keberadaan pemimpin
politik; (2) merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan; (3) menciptakan
kebersamaan; (4) negosiasi; dan (5) membangun konsensur (Anwar Arifin dalam
Ardial, 2009: 73).
Pertama, keadaan pemimpin
politik. Eksistensi pemimpin politik dalam suatu partai dianggap penting karena
keberadaannya sangat dibutuhkan disetiap aktivitas kegiatan komunikasi politik.
Ketika komunikasi politik berlangsung, justru yang berpengaruh bukan saja peran
politik, melainkan siapa tokoh politik (politikus) atau tokoh aktivis dan
profesional, serta berasal dari lembaga mana yang meyampaikan informasi atau
pesan politik itu. Dengan kata lain, ketokohan seorang komunikator dan latar
belakang lembaga politik yang mendukungnya, sangat menentukan berhasil atau
tidaknya komunikasi politik dalam mencapai sasaran dan tujuannya. Dalam
masyarakat, terdapat stratifikasi kekuasaan yang dimiliki, yang memiliki
kekuasaan disebut elit (pemimpin
politik), sedangkan yang tidak memiliki kekuasaan disebut massa atau rakyat.
Oleh karena itu, menurut Pareto dalam Surbakti (1999 : 134), pemimpin atau
eliti politik adalah orang-orang yang memiliki nilai-nilai yang paling dinilai
tinggi dalam masyarakat,seperti prestise, kekayaan, atau kewenangan.
Kedua,
merawat ketokohan dan memantapkan kelembagaan. Artinya, ketokohan politikus
dan kemantapan lembaga politiknya dala masyarakat akan memiliki pengaruh
tersendiri dalam berkomunikasi politik. Selain itu, juga diperlukan kemampuan
dan dukungan lembaga dalam menyusun pesan politik, menetapkan metode, dan
memilih media politik yang tepat. Ketokohan adalah orang yang memiliki
kredibilitas (al Amin), daya tarik,
dan kekuasaan. Rakhmat (1999:256) menyebutkan sebagai ethos. Dengan demikian,
ketokohan sama dengan ethos, yaitu
gabungan antara kredibilitaas, akraksi, daj kekuasaa. Dimensi ethos yang paling relevn disini adalah
kredibilitas, yaitu keahlian komunikator (pemimpin politik) atau kepercayaan
kita kepada pemimpin politik.
Ketiga,
menciptakan kebersamaan. Mencoiptakan kebersamaan antara politikus dengan
khalayak (rakyat) dengan cara mengenal khalayak dan menyusun pesan yang homofilis ( Arifin, 2003 : 154) agar komunikator politik
dapat berempati. Komunikasi akan lebih efektif pada kondisi homifilis daeripada heterofili
(Rakhmat, 1996: 262). Suasana ho,ofilis
yang harus diciptakan adalah
persamaan bahasa (simbol komunikasi), busana, kepentingan dengan khalayak,
terutama mengenai pesan politik, metode, dan media politik. Namun yang sangat
penting, strategi ini juga yang harus dilakukan oleh partai atau politikus
adalah siapa tokoh yang melakukan komunikasi kepada khalayak. Artinya,
politikus telah memiliki banyak persamaan dengan khalayak pada level melakukan
penjajakan, seperti bagaimana memahami khalayak, menyusun pesan persuasif,
menetapkan metode, dan memilih media.
Keempat,
negosiasi. Proses komunikasi bisa
mudah dan bisa juga sulit, tergantung pada orang yang mengomunikasikan sesuatu.
Da;am kehidupan komunikasi politik negosiasi merupakan bagian yang selalu
muncul sehingga negosiasi bisa dijadikan
sebagai salah satu strategi komunikasi politik. Menurut Oxford Dictionartu
dalam Ludlow & Panton (1996: 141), begosiasi adalah pembicaraan dengan
orang lain untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau
mengemukakan. Pada tataran komunikasi politik dalam partai politik, negosiasi
digunakan untuk melobi guna mencapai suatu kesepahaman atau kesepakatan dalam
proses pencapaian tujuan politik.
Kelima,
membangun konsensus. Strategi komunikasi politik terakhir yang harus dilakukan
oleh partai untuk mencapai tujuan komunikasi politiknya adalah membangun
konsensus, baik antara para politikus dalam satu paratai mauapun atara
politikus dari partai yang berbeda (Arifin, 2003: 182). Pada umumnya, hal itu
terjadi dalam rapat dan persidangan maupun dalam lobi, dengan menggunakan model
komunikasi efektif sesuai dengan paradigma interaksional.
Ada dua hal yang harus diperhatikan
dalam membangun kosensus, antara lain (1) seni berkompromi, yaitu para
politikus harus memiliki kemampuan berkompromi yang merupakan seni tersendiri.
Pada umumnya, seni atau kiat berkompromi itu merupakan bakat atau bawaan lahir
dan pasti dimiliki oleh politikus. Konsensus atau kesepakatan dicapai setelah
ada konflik atau perbedaan pendapat terhadap suatu masalah (Arifin, 2003: 183).
Hal ini terjadi dalam rapat, persidangan, atau musyawarah untuk penyusunan
undang-undang atau peraturan-peraturan, penentuan program, kebijakan, dan
pelaksanaan, serta penetapan atau pemilihan pucuk pimpinan seperti pemilihan
presiden dan wakil presiden; (2) bersedia membuka diri. Pada politikus yang
akan melakukan lobi untuk mencari solusi dengan membangun konsensus harus siap
membuka diri sesuai dengan konsep diri yang ada pada tiap-tiap politikus yang
berbeda pendapat (Arifin, 2003: 142). Konsep diri merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam komunikasi politik interaksional. Suksesnya komunikasi interaksional, terutama
lobi, banyak sekali bertgantung pada kualitas konsep diri yang positik.
Politikus yang memiliki konsep diri yang positik adalah orang yang transparan (
tembus pandang) atau terbuka bagi orang lain (Jorurard, 1971).
Salah satu inti dari demokratisasi
adalah bagaiamana membangun intitusi-intitusi politik demokratis, seperti
partai politik, bekerja atas dasar prinsip akuntabilitas. Partai politik
sebagai institusi demokrasi diharapkan dapat berperan sebagai agen yang dapat
menjamin tumbuh dan berkembangnya praktik demikrasi dimasyarakat. Peran
tersebut tentu menuntut partai politik terlebih dahulu menerapkan nilai dan
praktik-praktik demokrasi dalam dirnya sendiri ketika melaksanakan
fungsi-fungsi imput sistem politik,
seperti fungsi komunikasi politik.
Di Indonesia, proses demokratisasi
politik yang terus berlangsung pasca Orde Baru setidaknya telah mengarahkan
sistem kepartaian dan pemilu yang dapat memberi peluag bagi perluasan
partisipasi politik warga negara. Proses ini setidaknya telah menghasilkan
sistem multipartai yang relatif otonom yang tidak hanya memberi ruang bagi
munculnya sejumlah partai politik baru, tetapi juga sistem kompetisi yang
sangat ketat untuk merebut dukungan politik yang lebih besar dari konstituen.
Sekalipun sistem ini terasa lebih
demokratis dibanding sebelumnya, tetapi tetap saja merupakan ancama bagi
eksistensi partai politik sebab ruang kompetisi yang diciptakan semakin tajam
dan terbuka. Sistem ini dapat membuat partai politik gulung tikar bila partai
politik tersebut tidak dapat berkompetisi dan beradaptasi dengan lingkungan
politik yang sedang dan akan terus berubah serta berkembang, terutama dalam
melaksanakan fungsi komunikasi politik dengan efektif dan berhasil. Sistem ini
sudah tentu membawa dilema demokrasi karena pada satu sisi aspirasi politik
masyarakat yang terus berkembang menuntut partai politik dan pemerintah yang
didukungnya harus menjadi adaptif; pada lain sisi, partai politik dan
pemerintah yang didukungnya juga memiliki sejumlah keterbatasan. Arena politik
yang ada akan menjadi tempat pembataian bagi partai politik yang tidak mampu
melaksanakan fungsi-fungsi input susten politik, sekaligus merupakan medan yang
menguntungkan bagi partai politik lain yang suap beradaptasi dan berkomperisi
secara fair untuk memperoleh dukungan politik secara luas
dari masyarakat/rakyat melalui pembentukan opini dan pencitraan partai politik.
Pada batas-batas tertentu, sebuah
partai politik dihadapkan pada suatu tuntutan untuk mengoptimalkan pesannya
sebagai sarana partisipasi politik masyarakat. Jika dilihat dari
ketidak berhasilan sebuah partai politik dalam pemilu, hal ini disebabkan: pertama, aktivis dan politikus partai
belum memhamai betul fungsi komunikasi politik dalam partai. Mereka yang
menjadi aktivis partai belum termasuk orang-orang yang oleh Sigmund Neumann
disebut sebagai mereka yang memusatkan perhatiannya untuk menguasai
pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Kedua, mereka yang terlibat dalam partai
bukan orang-orang yang bertujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanaka
kebijakan-kebijakan partai. Tujuan partai politik menurut Miriam Budiardjo
adalah memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
keberhasilan ataupu kegagalan partai dala memberikan informasi atau pesan-pesan politik kepada masyarakat, terutama tentang pelaksanaan sejumlah progrram partai, tidak terlepas dari kinerja para komunikator partai politik, seperti politisi dan praktisi partai di DPR RI(fraksi, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekjen DPP, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW Provinsi) dan Dewan Pimpinan Anak Cabang, juru bicara partai, dan media center. Semua saran akses informasi politik yang dimiliki sebuah partai ditengarai belum berhasil menjadi sarana komunikasi politik yang efektid bagi masyarakat/publik. Penyebabnya dapat bermacam-macam , seperti pila atau modek partai dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik, meliputi aggregas, artikulasi, sosialisasi, partisipasi dan fungsi rekrutmen untuk mendapatkan dungan politik dari rakyat atau konstituen, konflik-konflik internal partai, dab ragam kepentingan para elit partai, serta fakto lain yang turut dominan memengaruhi tidak efektifnya implementasi fungsi komunikasi partai politik. Oleh karena itu, ketidakberhasilan atau kegagalan partai politi dalam pemilu berkaitan dengan efektivitas implementasi fungsi komunikasi politik yang dilakukannya. Untuk mengetahui dan membutikan penyebabnya, perlu diadakan penelitian.
FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN PARTAI POLITIK DALAM PEMILU
Dilihat dari berbagai aspek, kesuksesan ataupun kegagalan dala pelaksanaan fungsi komunikasi politik suatu partai sangat terkait dengan konsep-konsep yang ikut memengaruhi fungsi komunikasi politik tersebut, meliputi struktur sosial budaya politik dan ekonomi (sosial system), konsep budaya organisasi partai dan manajemen strategi komunikasi partai politik, kredibilitas/ethos, kapabilitas, populiaritas figur atau ketokohan (personalitas pengurus) dan sistem kaderisasi, jaringan atau akses informasi partai kepada publik dan pemanfaatan sistem media yang ada termasuk penyediaan dan penyaluran informasi atau pesan-pesan politik kepada publik yang menyakut tuntutan ataupun harapan publik, konflik internal partai dan kepentingan elit dan yang terpenting lagi adalah kepercayaan dan keyakinan masyarakat/rakyat terhadap partai dalam hal ideologi partai.
Informasi atau pesan politk adalah semua data dan program-program partai politik yang dilaksanaka sendiri oleh patai yang dilaksanakan sendiri oleh partai. Dengan demikian, baik secara konseptual maupun secara faktual, pelaksanaan komunikasi politik di partai harus menunjukkan kesiapan seluruh sumber daya yang turut menjadi faktor yang menentukan keksuksesan atau keberhasilan partai, termasuk saluram atau media komunikasi yang dimiliki oleh partai yang meliputi DPR RI, juru bicara partai, dan semua DPW yang ada didaerah, dan media center, partai dalam mendistribusikan informasi politik atau program-program partai yang dimilikinya kepada masyarakat.