Wednesday, May 10, 2017

Keterwakilan Perempuan Di Parlemen


Sejak angin reformasi ditiupkan tahun 1998 lalu, ada keinginan kuat untuk mengangkat partisipasi rakyat dalam kehidupan politik. Termasuk penguatan peran politik kaum perempuan. Sebagai tindak lanjutnya, diciptakanlah affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik.
Salah satu bentuk affirmative action itu adalah penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Lalu, dalam setiap UU pemilu kita dicantumkan ketentuan untuk mencapai kuota itu. Diantaranya, penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.
Sayang, tiga kali pemilu pasca reformasi, target mencapai kuota 30% itu tidak kunjung terealisasi. Pada pemilu 1999, yang notabene pemilu pertama di era reformasi, hanya 45 perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR atau hanya 9%. Lalu, pada pemilu 2004, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR sebanyak 62 orang atau sekitar 11,3 persen.
Kemudian, pada pemilu 2009 lalu, jumlah perempuan terpilih sebagai anggota DPR meningkat, yakni 102 orang atau 18%. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia hanya menempati peringkat 75. Jauh di bawah Rwanda (56.3 persen), Andorra (50 persen), dan Kuba (45,2 persen).
Sebentar lagi pemilu 2014 digelar. Banyak harapan, bahwa di pemilu mendatang bisa meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Lagipula, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif sudah mengamanatkan kewajiban parpol peserta pemilu untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan di daftar calon legislatif dan minimal terdapat satu perempuan diantara tiga calon legislatif.
Sayang, belum juga pemilu, kita sudah dihinggapi kekhawatiran. Pasalnya, sejumlah parpol sudah menyuarakan keberatannya untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan itu. Alasannya pun tidak masuk akal: masih sedikit perempuan yang mau terjun ke politik.
Memang, salah satu hambatan terbesar memenuhi target 30% keterwakilan perempuan itu adalah partai politik. Jangankan soal kuota 30% caleg perempuan, kepengurusan parpol pun masih “sepi” dari kader-kader perempuan. Sampai sekarang ini parpol masih minim memberikan ruang bagi kaum perempuan. Parpol-parpol ini masih dihinggapi anggapan patriarkal, yang meremehkan kapasitas perempuan untuk terjun ke politik. Hal ini makin diperparah oleh kenyataan bahwa parpol tidak serius melakukan kaderisasi politik di tingkatan massa. Inilah hambatan pertamanya.
Kedua, UU pemilu yang mengatur soal kuota 30% caleg perempuan itu belum dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi parpol yang mengabaikan atau tidak menjalankan ketentuan itu. Hal ini, misalnya, terjadi pada pemilu 2009 lalu, dimana ada 13 partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.
Belakangan, ada keinginan KPU untuk memastikan parpol memenuhi kuota itu, yakni melalui Peraturan KPU No 7 tahun 2013.  Ketentuan itu menegaskan, KPU tidak akan menerbitkan daftar caleg tetap untuk parpol yang gagal memenuhi syarat keterwakilan perempuan di suatu dapil. Sayang, inisiatif KPU ini ditentang oleh DPR.
Ketiga, masih kuatnya hambatan ideologis, terutama patriarkhi, yang menghalangi langkah perempuan terjun ke politik. Dunia politik masih diasosiasikan sebagai “dunia laki-laki”. Ini tercermin jelas dari pandangan yang mengidentikkan pemimpin politik dengan “pemimpin kuat, tegas, dan berani”. Akibatnya, ketika perempuan ini terjun ke politik, tak jarang hambatan itu justru berasal dari keluarga.
Keempat, tidak adanya organisasi massa perempuan yang berhasil menjembatani antara penyelesaian problem-problem mendasar perempuan, seperti pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan lain-lain, dengan kebutuhan perjuangan politik perempuan. Padahal, organisasi massa semacam ini sangat berguna sebagai sekolah politik bagi massa perempuan.
Kelima, mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi liberal. Akibatnya, kalaupun perempuan bisa mendapat tiket sebagai calon legislatif, tetapi mereka kesulitan untuk membiayai kampanye dan segala kebutuhan logistik pada saat pemilu. Jadinya, yang banyak lolos dan menduduki jabatan di DPR adalah perempuan dari kalangan menengah ke atas atau dari rumpun pejabat/elit politik. Masalahnya, perempuan dari kalangan atas ini biasanya hanya punya ambisi kekuasaan, tetapi tidak punya perhatian pada agenda politik kaum perempuan dan rakyat secara keseluruhan.


Sunday, December 04, 2016

Teori Demokrasi Klasik

Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat.
Dalam hal ini perlu dicermati bahwa teori kontrak sosial yang dikemukakan di eropa pada abad pertengahan menjadi hal yang sangat nyata terlihat. Bagaimana seorang calon pemimpin memberikan janji-janji kepada masyarakat bahwa ketika ia terpilih ia akan mewujudkan mimpi-mimpi rakyatnya. Melalui dirinya pula ia akan menyambung lidah-lidah rakyat, menjadi perantara masyarakat dengan kekuasaan, membuka tabir gelap pemerintahan yang kotor, serta berusaha mewujudkan lahan pemerintahan dan politik yang kondusif, jujur dan adil. Namun yang menjadi permasalahan adalah seberapa baik kualitas masyarakat yang seharusnya mengusung sang pemimpin. Tidakkah ini menjadi permasalahan ketika masyarakat sendiri yang menjadi objek kekuasaan tidak memiliki cukup pemahaman mengenai situasi yang sebenarnya terjadi di tengah carut marut negeri tercinta.
Berdasarkan data dari KPU, daftar pemilih tetap di Indonesia untuk pemilu 2014 mencapai 186juta orang pemilih. Menurut data BPS jumlah remaja di Indonesia pada tahun 2010, jumlah remaja di Indonesia adalah sekitar 41juta . Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mendatang, cukup mencengangkan. Menurut data KPU, dari jumlah sekira 188 juta orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada kelompok usia 17-23 tahun sekira 30 juta orang. Dan mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja muda yang baru masuk kerja, sehingga totalnya sekira 52 juta orang.
Mampukah seorang mahasiswa berpikir jernih dalam menentukan nasibnya sendiri, atau bahkan nasib ratusan juta pemilih di Indonesia dengan memilih calon pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia? Sebagai seorang mahasiswa, yang juga mahasiwa kedokteran, ada baiknya kita melihat lebih dalam permasalahan ini dari sudut pandang duniakedokteran. Dalam menjalankan kehidupan seorang manusia memiliki fungsi luhur, yaitu berpikir dan mengambil keputusan dengan baik. Fungsi luhur ini diatur oleh otak. Dalam prosesnya, berpikir dan membuat keputusan sangat berkaitan dengan memori. Bagaimana seseorang dapat menentukan pilihan adalah melalui recall pengalaman (ingatan) yang sudah di dapat sebelumnya, memori ini diatur oleh sistem limbik, hippocampus,ganglia basalis, dan prefrontal cortex yang bekerja secara sinergis dan kompleks membentuk suatu sistem memori jangka panjang dan memori jangka pendek (memori kerja). Proses pengambilan keputusan diatur oleh prefrontal cortex, suatu bagian dari lobus frontalis dari otak manusia. Prefrontal cortex berkembang secara struktural dan fungsional selama usia 9-16tahun (Alloway,2006).
Setelah mencapai kematangan prefrontal cortex, fungsi executive (baca: pengambilan keputusan) juga mencapai potensi terbaiknya sebelum akhirnya harus menurun fungsinya seiring pertambahan usia dan paparan lingkungan. Maka dengan kenyataan bahwa bagian otak yang mengatur mengenai pengambilan keputusan sudah matang ketika mahasiswa yang rata-rata berusia 17-23tahun dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus memilih dengan sebaik-baiknya dalam ajang demokrasi yang disebut pemilu, seharusnya tidak menimbulkan kekhawatiran berlebih dalam benak para mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa sudah cukup matang untuk memilih !

Akhirnya pada ajang pemilu 2014 ini para mahasiswa diharapkan dapat memberikan kontribusinya yang terbaik, 30juta bukan angka yang sedikit, mahasiswa memegang 1/6 jumlah total suara yang akan masuk dalam pemilu 2014 nanti. Karena fungsi executive otak berjalan dengan mempertimbangkan paparan informasi baik informasi lama yang dihasilkan melalui suatu proses ―recall dari memori jangka panjang (baca: pengalaman sebelumnya) maupun informasi yang baru saja didapat, ada baiknya mahasiswa mempelajari betul-betul kandidat pemimpin yang akan meramaikan ajang kontrak sosial ini sehingga keputusan kita mahasiswa tidak dibutakan oleh ketidaktahuan.

Saya Pemuda Saya Memilih

“Hujan lebat akan menghilang apabila angin meniup mendung dan matahari memberi cahaya menyongsong hari baru
Kalimat inilah yang mungkin dapat diungkapkan dalam perayaan pesta demokrasi di negara ini. Hal itu tentu saja terjadi apabila seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi penuh di dalamnya. Namun, belakangan ini banyak sekali masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya dengan berbagai macam alasan.
Sebagai contoh, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan calon anggota legislatif peserta Pemilu 2014 didominasi oleh caleg berpendidikan sekolah menengah atas. Salah satu anggota KPU Gunung Kidul, Sukamto, mengatakan tingginya caleg berpendidikan SMA ini dikhawatirkan akan menimbulkan kebijakan yang kontra produktif. Namun kita juga tidak dapat memastikan bahwa caleg yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan tentang hak maupun kewajibannya sebagai wakil dari rakyat Indonesia. Kebimbangan inilah yang menjadi pemicu munculnya golongan putih (golput) yang takut bahwa pilihannya akan mengecewakan yang tanpa disadari pula menjadi golput adalah keputusan yang lebih mengecewakan.
Pada pengumuman resmi pemilu 2009 oleh KPU disebutkan bahwa suara sah yang terhitung hanya mencapai 104.099.785 suara dari 171 juta penduduk yang harusnya menggunakan hak suara dengan benar. Dari 171 juta penduduk tersebut, sekitar 10% yakni 17.488.581 penduduk menggunakan suara keliru/salah sehingga menyebabkan suara tidak sah. Sehingga ada 66,9 juta (67 juta) atau 39% ―Golput‖ atau suara penduduk yang tidak menggunakan hak memilihnya dengan tepat. Bahkan jumlah golput tersebut melebihi jumlah pemilih partai yang merupakan urutan pertama yang diumumkan KPU yang mendapatkan 21,703,137(20.85%) suara. Dari sini dapat dilihat bahwa menjadi golongan putih adalah menjadiorang yang membiarkan negaranya disetir oleh wakil rakyat yang belum diketahui kredibilitas dan loyalitasnya terhadap masyarakat dan negara.

Hal tersebut harus dihindari pada pemilu 2014 kali ini. Sebagi generasi penerus dengan idealisme yang tinggi dan pikiran yang kritis serta dengan semangat seorang pemuda diharapkan kita mampu menjadi angin yang meniupkan awan mendung yang siap menghujani Negara ini dan menyebabkan banjir korupsi di tanah tercinta ini. Setelah itu, kita dapat menjadi matahari dengan terus membantu mengawasi keberjalanan wakil rakyat kita sembari mempelajari hal yang baik untuk diambil menjadi teladan agar kita siap menggantikan wakil rakyat yang amanah untuk menerangi Indonesia tercinta.

Wednesday, November 30, 2016

ISLAM DITINJAU DARI ASPEK PENDIDIKAN

1)     Umum

Untuk mewujudkan manusia yang mampu mengamalkan ajaran agamanya sangat diperlukan pendidikan agama karena pendidikan agama mempunyai tujuan membentuk manusia bertaqwa kepada Allah SWT. Pendidikan sangat penting karena ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia baik pribadi maupun masyarakat.
2)  Keutamaan mencari ilmu dan keutamaan orang yang berilmu

Islam sanga mementingkan    keutamaa mencar ilm dan keutmaan orang yang berilmu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits sebagai berikut :

a Quran Surat At-Taubah : 122
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).  Mengapa  tidak pergi dari tiap-tiap golongadi antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatakepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.


  b Quran Surat An-Nahl : 43
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang  Kami  berwahyu  kepada  mereka;  maka  bertanyalah  kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

3)     Dasar Pendidikan Islam a. Al-Qur’an
Al-qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad  SAW. Di dalamnya terkandung ajara poko sanga pentin yang   dapa dikembangka untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung  dalam  Al-qur’an  itu  terdiri dari dua prinsip  besar,  yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amal disebut dengan syariah.
b.As-Sunnah

Assunah adalah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan adalah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan  saja  kejadian  atau  perbuatan  ituSunnah  merupakan ajaran  kedua  setelah  Al-qur’an.  Sunnah  berispetunjuk  (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membin umat   menjadi   manusia   seutuhny ata musli yang bertaqwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru dan pendidik utama bagi umatnya.
c Ijtihad

Ijtihad  adalah  mengeluarkan  segala  tenaga  dan  kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunah.